Minggu, 25 November 2012

Contoh Penyakit Autoimun



Nama : Nizarifa Nadia Fathariq
NIM : 25010111140305
Kelas : E / 2011

ANTIPHOSPHOLIPID SYNDROME (APS)
            Adalah suatu keadaan autoimun  yang ditandai dengan produksi antibodi antiphospholipid dalam kadar sedang sampai tinggi dan dengan gambaran klinis tertentu seperti trombosis (vena maupun arteri termasuk stroke), trombositopenia autoimun dan abortus. Kemungkinan terjadinya APS lebih sering pada penderita dengan penyakit autoimun seperti SLE disebut APS sekunder, namun dapat pula terjadi pada wanita yang tidak mempunyai penyakit autoimun (APS primer).1, 3

Diagnosis

            Pemeriksaan laboratorium APS masih sulit dan membingungkan, kendalanya karena hanya sedikit laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan dengan kualitas yang baik. Pemeriksaan antibodi antiphospholipid dan lupus anticoagulant (LA) harus dilakukan bersama  berhubung karena hanya 20% penderita APS yang dengan lupus anticoagulant positif. Pada tahun 1987 telah dibuat kesepakatan pada International Anti-Cardiolipin Workshop mengenai interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium yang dilaporkan secara semikuantitatif dan dibagi menjadi, negatif, positif rendah, positif sedang dan positif tinggi. Pemeriksaan yang dilakukan adalah IgG aCL, IgM aCL dan IgA aCL. Mayoritas penderita APS mempunyai LA dan IgG aCL.1, 2
Beberapa peneliti memperkirakan bahwa LA dan aCL merupakan immunoglobulin yang sama yang dideteksi dengan metode pemeriksaan yang berbeda sebab mereka menemukan bahwa pada penderita APS ditemukan salah satu dari LA atau aCL namun tidak pernah menemukan keduanya bersamaan.1
Pemeriksaan lain yang ditawarkan saat ini adalah b2-glycoprotein I (b2-GPI) yang relevan dengan antigen aPL. Banyak peneliti saat ini meyakini bahwa aPL bekerja melawan glycoprotein ini atau lebih mungkin  terhadap glycoprotein ini dan phospholipid, namun belum ada bukti bahwa pemeriksaan ini mempunyai informasi diagnostik yang lebih baik dari pemeriksaan LA dan aCL.1-3
Tabel 2. Kriteria klinis untuk sindroma antiphospholipid (dikutip dari kepustakaan 4)

Kriteria diagnostik

Ditemukan satu atau lebih :
Thrombosis vena / arteri
Abortus berulang
Persalinan prematur sebelum 34 minggu yang berhubungan dengan preeklamsia atau PJT

Gambaran klinis lain

Trombositopenia dan anemia hemolititk
Livedo reticularis
Gangguan di otak khusunya epilepsi, infark otak, chorea dan migrain
Penyakit katup jantung khususnya katup mitral
Hipertensi
Hipertensi pulmonal
Ulkus di tungkai bawah

Risiko maternal
            Berbagai penelitian retrospektif memastikan adanya hubungan antara aPL dan trombosis vena  serta arteri. Kejadian trombosis vena berkisar 65-70% terutama pada ekstremitas bawah.1
            Ada hubungan yang kuat antara LA dan aCL dengan vaskulopathy desidua, infark plasenta, restriksi pertumbuhan janin, preeklamsia dini dan abortus berulang. Seperti pada lupus, penderita penyakit ini juga mempunyai insiden yang tinggi untuk terjadinya trombosis vena dan arteri, trombosis cerebral, anemia hemolitik, trombositopenia dan hipertensi pulmonal.2, 4
            Menurut Chamley (1997) kerusakan platelet mungkin disebabkan langsung oleh antibodi antiphospholipid, atau secara tidak langsug oleh ikatan antara antibodi ini dengan b2-glycoprotein yang menyebabkan platelet mudah mengalami agregasi. Agregasi in akan menyebabkan pembentukan trombus.2
            Data penelitian prospektif yang dilakukan di Universitas Utah menunjukkan insiden trombosis dan stroke pada ibu hamil dengan sindroma ini masing-masing 5% dan 12%. Pada penderita APS dengan kehamilan juga tampak peningkatan kejadian preeklamsia. Beberapa penelitan dilakukan untuk menentukan adanya antibodi antiphospholipid pada penderita preklamsia, pada satu penelitian tidak ditemukan hubungan antara antibodi antiphospholipid dengan kejadian preeklamsia sedang pada 4 penelitian yang lain ditemukan 11,7 – 17% penderita preeklampsia mempunyai kadar antibodi antiphospolipid yang bermakna.1, 3
           

Risiko janin

            Beberapa penelitan terdahulu memberi perhatian terhadap hubungan antara kematian janin  antara 10 –12 minggu dengan aPL, hasilnya lebih dari 90% wanita dengan APS dan kematian janin mempunyai paling sedikit 1 kali riwayat kematian janin.1, 3
            Akibat lain yang ditimbulkan oleh APS terhadap janin adalah gangguan pertumbuhan janin, bahkan pada penderita yang mendapat pengobatan. Kejadian gangguan perrtumbuhan janin pada bayi yang lahir hidup hampir mencapai 30%. Fetas distress juga relatif sering ditemukan pada APS, dan walaupun telah mendapat pengobatan, 50% janin yang dilahirkan oleh ibu penderita APS akan mengalami fetal distress. Demikian pula dengan persalinan prematur yang banyak ditemukan pada penderita APS, pada penelitian dengan jumlah sampel yang besar terhadap ibu hamil penderita APS yang telah diobati, sepertiganya melahirkan pada atau sebelum usia kehamilan 32 minggu 1

Penanganan

            Ibu hamil penderita APS harus kontrol tiap 2 minggu pada paruh pertama kehamilan dan tiap minggu sesudahnya. Pemeriksaan USG dilakukan tiap 3-4 minggu sejak kehamilan 17-18 minggu untuk memantau gangguan pertumbuhan janin, oligohidramnion dan  abnormalitas pada doppler arteri umbilikalis. Pemantauan kesejahteraan janin dilakukan sejak kehamilan 26-28 minggu.1, 2
            Dahulu pengobatan dilakukan dengan pemberian prednison dan aspirin dosis rendah namun pengobatan terkini adalah  pemberian heparin dengan berat molekul rendah dengan atau tanpa aspirin.1-3
            Risiko trombosis pada penderita APS mencapai 70%. Wanita dengan riwayat APS dan tromboembolisme sebelumnya mempunyai risiko yang sangat tinggi dalam kehamilan dan masa nifas dan perlu mendapat tromboprofilaksis antenatal berupa heparin dengan berat molekul rendah 40 mg per hari.4



DAFTAR PUSTAKA

1.         Branch D, Porter T. Autoimune disease. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 853-84.
2.         Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. Connective tissue disorders. In: Williams Obstetrics. 21 st ed. New York: McGraw Hill; 2001. p. 1383-99.
3.         Blinder M. Hematological diseases. In: Winn H, Hobbins J, editors. Clinical maternal-fetal medicine. 1 st ed. New York: Parthenon Publishing Group; 2000. p. 437-50.
4.         Letsky E. Coagulation defects in pregnancy and puerperium. In: Chamberlain G, Steer P, Breat G, Chang A, Johnson M, Neilson J, editors. Turnbull's obstetrics. 3 rd ed. London: Churchill Livingstone; 2001. p. 311-29.

Kamis, 22 November 2012

Outbreak Epidemiologi

Dengan tingkat imunisasi yang sudah cukup tinggi di Indonesia, mengapa masih terjadi outbreak pada herd immunity?



Kejadian Luar Biasa (KLB) ditetapkan apabila dalam periode yang sama dari tahun sebelumnya terjadi peningkatan kasus lebih dari dua kali lipat. KLB atau wabah terjadi bila banyak bayi dan balita tidak diimunisasi. Hal tersebut sudah terbukti di beberapa negara Asia, Afrika dan di Indonesia. Besar cakupan imunisasi dalam program imunisasi nasional merupakan parameter kesehatan nasional, semua jenis imunisasi harus mencapai lebih dari 80%. Namun pada kenyataannya, cakupan imunisasi belum memuaskan. Outbreak atau Kejadian Luar Biasa (KLB) merupakan salah satu dampak cakupan imunisasi yang tidak sesuai target.
KLB untuk penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi bisa terjadi karena cakupan imunisasi kurang dari yang diharapkan. Suatu penyakit bisa dicegah apabila cakupan 80% dari target. Cakupan imunisasi sebanding dengan penularan. Semakin banyak anak yang tidak diimunisasi maka semakin besar peluang terjadinya penularan. Cakupan yang tinggi akan mengurangi penularan.
Di Indonesia, cakupan rendah bisa terjadi karena berbagai faktor. Pertama masalah geografis. Di daerah pelosok akses pelayanan kesehatan masih minim termasuk imunisasi. Dihidupkannya posyandu diharapkan bisa menggapai kantong-kantong masyarakat yang tidak terjangkau. Kedua, anggapan bahwa jika anak batuk pilek tidak boleh imunisasi. Padahal, pilek atau batuk bisa saja akibat alergi dan bukan karena infeksi berbahaya. Faktor lain adalah kesadaran masyarakat karena minimn yapendidikan. Kebanyakan masyarakat tidak paham manfaat imunisasi. Edukasi diharapkan berkesinambungan, tidak boleh berhenti. Seorang dokter, bidan, atau perawat harus mengingatkan terus kepada pasien tentang jadwal imunisasi yang harus dilengkapi. Satu faktor penyebab lain adalah munculnya kelompok-kelompok anti vaksin. Ada juga kampanye bahwa ASI sudah bisa memberikan perlindungan.
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah peningkatan jumlah kejadian penyakit infeksi lebih dari dua kali dibandingkan periode yang sama pada satu tahun sebelumnya. Apabila KLB terjadi pada penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, misalnya polio, campak, atau difteri; maka hal tersebut dapat diduga merupakan dampak dari ketidaksempurnaan program imunisasi, antara lain karena cakupan imunisasi yang rendah. Negara anggota yang tergabung dalam WHO SEARO bersepakat menerapkan program UCI (Universal Child Immunization) di mana pada tahun 2014, UCI desa harus mencapai > 80%. Artinya di setiap desa, anak-anak berusia di bawah 12 bulan, 80% harus sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Program ini tengah digalakkan pemerintah yang tahun ini mencanangkan Intensifikasi Imunisasi Rutin. Tujuann yaadalah mencapai MDGs poin ke-4 yaitu mengurangi 2/3 angka kematian anak.
 Karena pada dasarnya kekebalan kelompok (herd immunity) adalah tingkat kemampuan atau daya tahan suatu kelompok penduduk tertentu terhadap serangan atau penyebaran unsur penyebab penyakit menular tertentu berdasarkan tingkat kekebalan sejumlah tertentu anggota kelompok tersebut.
Herd Immunity merupakan faktor utama dalam proses kejadian wabah di masyarakat serta kelangsungan penyakit pada suatu kelompok penduduk tertentu.
Wabah terjadi karena 2 keadaan :
1.      Keadaan kekebalan populasi yakni suatu wabah besar dapat terjadi jika agent penyakit infeksi masuk ke dalam suatu populasi yang tidak pernah terpapar oleh agen tersebut atau kemasukan suatu agen penyakit menular yang sudah lama absen dalam populasi tersebut.
2.      Bila suatu populasi tertutup seperti asrama, barak dimana keadaan sangat tertutup dan mudah terjadi kontak langsung, masuknya sejumlah orang-orang yang peka terhadap penyakit tertentu dalam populasi tsb. Ex: Asrama mahasiswa/tentara
Jadi jika masih terjadi KLB, kita perlu lihat tentang cakupan imunisasinya. Apakah sudah terimunisasi dengan benar apa belum. Jika sudah, dapat juga disebabkan oleh faktor lain seperti dua contoh diatas.


Senin, 19 November 2012

Teori Penyebab Penyakit



1).Contagion Theory
Teori ini mengemukakan bahwa terjadinya penyakit diperlukan adanya kontak antara satu person dengan person lain. Teori ini di kembangkan berdasarkan situasi penyakit pada masa itu yang kebanyakan adalah penyakit yang menular karena adanya kontak langsung.Teori ini bermula pada pengamatan terhadap epidemic dan penyakit Lepra di Mesir.
2). Hippocratic Theory
Teori ini di pelopori oleh Hippocrates yang lebih mengarahkan kausa pada suatu factor tertentu.Menurutnya bahwa kausa penyakit berasal dari alam : cuaca dan lingkungan. Teori ini mampu menjawab masalah penyakit pada waktu itu dan di pakai hingga tahun 1800an dan teori ini ternyata tidak mampu menjawab berbagai penyakit infeksi lain yang mempunyai rantai penularan yang lebih berbelit-belit.
3). Miasmatic Theory
Teori ini menunjukan gas-gas busuk dari perut bumi yang menjadi kausa penyakit namun tidak dapat menjawab pertanyaan tentang penyebab berbagai penyakit.
4). Epidemic Theory
Teori ini menghubungnkan terjadinya penyakit dengan cuaca dan factor geografis. Zat organic dari lingkungan dianggap sebagai pembawa penyakit . Teori ini diterapkan oleh John Snow dalam menganalisis diare di London.

5).Thery Kuman (Grem Theory).
Kuman (mikroorganisme) ditunjuk sebagai kausa penyakit . Kuman dianggap sebagai kausa tunggal penyakit namun teori ini mendapat t antangan dari berbagai penyakit kronis misalnya jantung dan kanker.
6). Theory Multi kausa
Teori ini disebut sebagai konsep multi factorial yang menekankan bahwa suatu penyakit terjadi sebagai hasil dari interaksi berbagai factor misalnya interaksi lingkungan yang berupa factor biologis , kimiawi, dan social memegang peranan dalam terjadinya penyakit




Azwar,Azrul.1988. Pengantar Epidemiologi. Binarupa Aksara . Jakarta Barat
Bustan, M.N. 2006. Pengantar Epidemiologi. Rineka Cipta . Jakarta.
Effendy, Nasrul.1998. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Penerbit Buku Kedokteran . Jakarta
Murti, Bhisma.1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Rinekacipta . Jakarta
Noor,Nasri.2000. Dasar Epidemiologi. Rineka Cipta . Jakarta.
Notoatmodjo,Soekidjo.2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakarta.
http://Epidemiolog.Wordpress.com./2008/11/08/Ruang-Lingkup Epidemiologi.
diakses tanggal 3 September 2009.
http://Epidemiolog.Wordpress.com /2008/05/11/Sejarah Epidemiologi -2.
Diakses tanggal 3 September 2009.
http://Epidemiolog.Wordpress.com./2008/05/11 Dasar epidemiologi .
Diakses tanggal 3 September 2009.



Teori Contagion
Teori ini menganggap bahwa penyakit terjadi akibat kontak dari penderita ke orang lain secara langsung, sehingga ada ‘sesuatu’ yang ditularkan. Hal ini dilatarbelakangi pengamatan penyakit lepra di Mesir.
Daftar Pustaka
Azrul Azwar. 1999. Pengantar Epidemiologi. Ed Revisi. Jakarta : Binarupa Aksara.
Budioro B. 1997. Pengantar Epidemiologi. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Budiarto. 1987. Penuntun Epidemiologi. Bandung : Alumni.
Beaglehode, R., Bonita, R., dan Kjellstrom, T. 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Terjemahan. Adi Heru Sutomo dan Hari Kusnanto. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
M. N. Bustan. 1997. Pengantar epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Teori Hippocrates
Hippocrates mengaggap bahwa penyebab penyakit berasal dari alam : cuaca dan lingkungan. Pada waktu itu (hingga tahun 1800-an) peranan lingkungan terhadap penyakit sangat besar.
Daftar Pustaka
Azrul Azwar. 1999. Pengantar Epidemiologi. Ed Revisi. Jakarta : Binarupa Aksara.
Budioro B. 1997. Pengantar Epidemiologi. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Budiarto. 1987. Penuntun Epidemiologi. Bandung : Alumni.
Beaglehode, R., Bonita, R., dan Kjellstrom, T. 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Terjemahan. Adi Heru Sutomo dan Hari Kusnanto. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
M. N. Bustan. 1997. Pengantar epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta.


Teori miasma
Teori ini menganggap bahwa penyakit disebabkan oleh zat halus (gas busuk) dari permukaan bumi.
Daftar Pustaka
Azrul Azwar. 1999. Pengantar Epidemiologi. Ed Revisi. Jakarta : Binarupa Aksara.
Budioro B. 1997. Pengantar Epidemiologi. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Budiarto. 1987. Penuntun Epidemiologi. Bandung : Alumni.
Beaglehode, R., Bonita, R., dan Kjellstrom, T. 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Terjemahan. Adi Heru Sutomo dan Hari Kusnanto. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
M. N. Bustan. 1997. Pengantar epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Teori epidemik
Dalam teori ini penyakit diyakini berasal dari zat organik pada lingkungan, sehingga faktor cuaca dan geografik berkaitan erat dengan penyakit. Hal ini dilaterbelakangi temuan John Snow mengenai kejadian diare di London.
Daftar Pustaka
Azrul Azwar. 1999. Pengantar Epidemiologi. Ed Revisi. Jakarta : Binarupa Aksara.
Budioro B. 1997. Pengantar Epidemiologi. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Budiarto. 1987. Penuntun Epidemiologi. Bandung : Alumni.
Beaglehode, R., Bonita, R., dan Kjellstrom, T. 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Terjemahan. Adi Heru Sutomo dan Hari Kusnanto. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
M. N. Bustan. 1997. Pengantar epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Teori kuman
Kemajuan teknologi kedokteran mampu mengungkap bahwa mikoorganisme dapat ditemukan pada lokasi penyakit. Hal ini dilatarbelakangi temuan Robert Koch tentang basil Tuberculosis.
Daftar Pustaka
Azrul Azwar. 1999. Pengantar Epidemiologi. Ed Revisi. Jakarta : Binarupa Aksara.
Budioro B. 1997. Pengantar Epidemiologi. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Budiarto. 1987. Penuntun Epidemiologi. Bandung : Alumni.
Beaglehode, R., Bonita, R., dan Kjellstrom, T. 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Terjemahan. Adi Heru Sutomo dan Hari Kusnanto. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
M. N. Bustan. 1997. Pengantar epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Teori multikausa.
Pada jaman modern ini dapat dianalisa bahwa penyakit terjadi karena sebab musabab yang kompleks sebagai interaksi penyebab (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment).

Daftar Pustaka
Azrul Azwar. 1999. Pengantar Epidemiologi. Ed Revisi. Jakarta : Binarupa Aksara.
Budioro B. 1997. Pengantar Epidemiologi. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Budiarto. 1987. Penuntun Epidemiologi. Bandung : Alumni.
Beaglehode, R., Bonita, R., dan Kjellstrom, T. 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Terjemahan. Adi Heru Sutomo dan Hari Kusnanto. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
M. N. Bustan. 1997. Pengantar epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta.