Sabtu, 08 Juni 2013

MENINGITIS MENINGOKOKUS



Nama : NIZARIFA NADIA FATHARIQ
NIM : 25010111140305
Kelas : E -2011

·         INFEKSI MENINGOKOKUS ICD-9 136; ICD-10 A39  (Demam Serebrospinal)   MENINGITIS MENINGOKOKUS ICD-9 036.0; ICD-10 A39.0 (Meningococcemia, bukan Meningitis: ICD-10 A39.2-A39.4)
1. Identifikasi Penyakit bakterial akut dengan katarektistik muncul demam mendadak, nyeri kepala hebat, mual dan sering disertai muntah, kaku kuduk dan seringkali timbul ruam petekie dengan makula merah muda atau sangat jarang berupa vesikel. Sering terjadi delirium dan koma; pada kasus fulminan berat timbul gejala prostrasi mendadak, ecchymoses dan syok. Dulu angka kematian mencapai >50% namun dengan diagnosa dini, terapi modern dan tindakan suportif, angka kematian 5-15%. Lebih dari 5-15% penduduk di negara endemis merupakan carrier tanpa gejala, ditemukan koloni Neisseria meningitidis di daerah nasofaring. Sebagian kecil dari orang ini akan berkembang menjadi penyakit yang invasif dengan ditandai satu atau lebih gejala klinis seperti bakteremia, sepsis, meningitis atau pneumonia. Banyak pada penderita sepsis timbul ruam petekie, kadang-kadang disertai dengan nyeri dan radang sendi. Meningococcemia dapat timbul tanpa mengenai selaput otak dan harus dicurigai pada kasus-kasus demam akut yang tidak diketahui penyebabnya dengan ruam petekie dan lekositosis. Pada meningococcemia fulminan angka kematian tetap tinggi walaupun telah diobati dengan antibiotika yang tepat. Diagnosis pasti dibuat dengan ditemukannya meningococci pada LCS atau darah. Pada kasus dengan kultur negatif, diagnosis dibuat didukung dengan ditemukannya polisakarida terhadap grup sepesifik meningococcal pada LCS dengan teknik IA, CIE dan teknik koaglutinasi; atau ditemukannya DNA meningococcal pada LCS atau pada plasma dengan PCR. Pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan gram, sediaan yang diambil dari petekie organismenya dapat diketahui.
2. Penyebab Infeksi N. meningitidis, suatu jenis meningokokus N. meningitidis grup A, penyebab utama KLB di AS (tidak ditemukan sejak tahun 1945) dan di tempat lian; sedangkan grup B, C dan Y diakhir tahun 1990-an sebagai penyebab kebanyakan kasus di AS. Genotipe tertentu tercatat sebagai penyebab terjadinya beberapa KLB. Serogrup lainnya diketahui juga berperan sebagai patogen (misalnya grup W-135, X dan Z). Organisme dari kelompok ini kurang begitu virulen, namun kasus-kasus fatal dan infeksi sekunder pernah dilaporkan disebabkan oleh hampir semua serogroup. KLB N. meningitidis biasanya disebabkan oleh strain yang berdekatan. Untuk mengetahui strain penyebab KLB dan luasnya KLB, maka subtyping dari isolat dengan menggunakan metoda seperti disebutkan di bawah ini sangat bermanfaat: 356 - multilocus enzyme electrophoresis - pulsed-field gel electrophoresis - enzyme-restricted DNA fragments.
3. Distribusi penyakit Infeksi oleh meningokokus terjadi dimana-mana, namun puncaknya terjadi pada akhir musim dingin dan awal musim semi. Pada awalnya infeksi meningokokus terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, di banyak negara laki-laki lebih banyak terserang daripada wanita, dan sering terjadi pada pendatang baru yang berkumpul/berjejalan pada suatu tempat seperti di dalam barak dan asrama penampungan. Wilayah yang selama ini diketahui sebagai daerah yang insidensinya tinggi adalah AfrikaTengah dimana infeksi disebabkan oleh grup A. Pada tahun 1996 wabah meningokokus dilaporkan terjadi di Afrika Barat dengan total penderita yang dilaporkan adalah 150.000 penderita, terjadi di Burkina Faso, Chad, Mali, Niger dan Nigeria. Pada kurun waktu 10 tahun terakhir KLB yang disebabkan oleh grup A dilaporkan terjadi di Nepal, India, Ethiopia, Sudan dan beberapa negara Afrika lainnya. Selama tahun 1980 dan 1990-an, grup B diketahui sebagai penyebab infeksi di benua Eropa dan Amerika. Wabah yang terjadi biasanya ditandai dengan peningkatan jumlah kasus 5-10 kali dari biasanya, dan akhir-akhir ini dilaporkan terjadi di Selandia baru, daerah timur laut negara bagian Amerika Serikat yang menghadap laut Pasifik. Sejak tahun 1990-an KLB yang disebabkan oleh grup C dilaporkan terjadi di AS dan Kanada. KLB ini biasanya menyerang anak-anak usia sekolah, mahasiswa dan penularan kadang-kadang terjadi di bar dan kelab malam dimana banyak orang berkumpul di dalamnya. Pada tahun 1990-an, di AS ternyata grup Y makin sering dijumpai sebagai penyebab infeksi seperti halnya grup B dan grup C. Beredarnya strain baru dari meningokokus biasanya ditandai dengan meningkatnya insidensi infeksi meningokokus yang menyerang hampir semua kelompok umur.
4. Cara penularan Penularan terjadi dengan kontak langsung seperti melalui droplet dari hidung dan tenggorokan orang yang terinfeksi. Infeksi biasanya menyebabkan infeksi subklinis pada mukosa. Invasi dengan jumlah bakteri yang cukup untuk menyebabkan terjadinya penyakit sistemik sangat jarang. Prevalensi carrier yang mencapai 25% atau lebih dapat terjadi tanpa ada kasus meningitis. Selama KLB lebih dari setengah laki-laki personil militer mungkin sebagai carrier sehat kuman meningokokus. Penyebaran melalui barang dan alat-alat tidak terbukti.
6. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada masyarakat untuk mengurangi kontak langsung dan menghindari terpajan dengan droplet penderita.
2) Mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti dalam barak, sekolah, tenda dan kapal.
3) Vaksin yang mengandung polisakarida meningokokus grup A, C, Y dan W-135 telah terdaftar dan beredar di Amerika Serikat dan negara lainnya untuk digunakan pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar, saat ini hanya vaksin kuadrivalen yang tersedia di Amerika Serikat. Vaksin meningokokus efektif pada orang dewasa diberikan pada saat melakukan rekruitmen militer di AS sejak tahun 1972. Vaksin ini juga digunakan untuk mengendalikan KLB grup C yang terjadi di masyarakat dan di sekolah pada tahun 1990-an. Vaksin ini harus diberikan kepada kelompok risiko tinggi tertentu yaitu anak-anak pada usia di atas 2 tahun yang rentan terhadap infeksi berat meningokokus termasuk harus diberikan kepada penderita yang limpanya sudah diambil, orang dengan defisiensi komplemen terminal, staf laboratorium yang terpajan secara rutin dengan N. meningitidis. Sayang sekali komponen C mempunyai imunogenisitas rendah dan tidak efektif bila diberikan bagi anak di bawah usia 2 tahun. Vaksin serogroup A mungkin efektif bila diberikan kepada anak usia lebih muda, 3 bulan sampai 2 tahun, pada usia ini diberikan 2 dosis vaksin dengan interval 3 bulan. Sedangkan untuk anak usia di atas 2 tahun hanya diberi dosis tunggal. Waktu perlindungan sangat terbatas, terutama pada anak usia kurang dari 5 tahun. Imunisasi rutin bagi masyarakat umum di Amerika Serikat tidak dianjurkan. Pemberian imunisasi kepada para pelancong akan mengurangi risiko tertulari apabila mereka berkunjung ke negara yang pernah mengalami wabah meningokokus grup A atau C. Imunisasi ulang dapat dipertimbangkan untuk diberikan dalam jangka waktu 3- 5 tahun apabila tidak ada indikasi untuk mendapatkan vaksinasi. Tidak ada vaksin yang terdaftar saat ini di AS efektif terhadap infeksi grup B, walaupun beberapa jenis vaksin telah dikembangkan dan telah diujicoba menunjukkan efikasi yang lumayan bila diberikan kepada anak-anak yang lebih besar dan kepada orang dewasa. Vaksin konyugat terhadap serogroup A dan C masih dalam proses uji coba klinis, namun efikasinya sampai tahun 1999 belum dievaluasi. Untuk bayi dan anak-anak, vaksin meningokokus konyugat serogroup A, C, Y dan W-135 telah dikembangkan dengan metoda yang sama dengan metoda pembuatan vaksin konyugat untuk Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin-vaksin ini diharapkan sudah dapat digunakan rutin di Inggris mulai tahun 2000 dan di Amerika Serikat dalam waktu 2-4 tahun kemudian. 358
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan ke instansi kesehatan setempat: Wajib dilaporkan di banyak negara bagian (di Amerika) dan di beberapa negara di dunia.
2) Isolasi: Lakukan isolasi saluran nafas selama 24 jam setelah dimulai pemberian chemotherapy.
3) Disinfeksi serentak: lakukan desinfeksi terhadap discharge yang berasal dari sekret hidung dan tenggorokan, dan barang-barang yang terkontaminasi. Pembersihan menyeluruh.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Perlindungan kontak: Lakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan penderita secara dini, khususnya terhadap mereka yang demam agar segera dilakukan pengobatan yang tepat secara dini; pemberian profilaktik, kemoterapi yang efektif untuk melindungi kontak (kontak diantara anggota keluarga satu rumah, personil militer yang berbagi tempat tidur dan orang-orang yang secara sosial sangat dekat untuk saling bertukar peralatan makan seperti teman dekat di sekolah, tapi bukan seluruh kelas. Anak-anak di tempat penitipan merupakan pengecualian dan walaupun bukan teman dekat maka semua harus diberikan pengobatan profilaksis setelah ditemukan satu kasus indeks. Pilihan antibiotika profilaksis adalah rifampisin, diberikan 2 kali sehari selama 2 hari: orang dewasa 600 mg per dosis; bayi di atas 1 tahun 10 mg/kg BB; anak umur kurang dari 1 bulan 5 mg/kg BB. Rifampisin harus dihindari untuk diberikan bagi wanita hamil. Rifampisin dapat mengurangi efektivitas kontrasepsi oral. Untuk orang dewasa, ceftriaxone 250 mg IM dapat diberikan sebagai dosis tunggal dan terbukti cukup efektif; 125 mg IM untuk anak di bawah umur 15 tahun. Ciprofloxacin 500 mg per oral dosis tunggal dapat juga diberikan untuk orang dewasa. Bila kuman sensitif terhadap sulfadiazine, dapat diberikan pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar dengan dosis 1 gram setiap 12 jam, dalam 4 dosis; untuk bayi dan anak-anak dosisnya adalah 125-150 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, setiap 2 hari sekali. Pada tahun 1993 sulfadiazine tidak lagi diproduksi di Amerika Serikat dan diperlukan bantuan dari CDC Atlanta untuk mendapatkan obat ini. Petugas kesehatan jarang sekali berada dalam risiko tertulari sekalipun dia merawat penderita, hanya mereka yang kontak erat dengan sekret nasofaring (seperti pada waktu resusitasi mulut ke mulut) yang memerlukan pengobatan profilaksis. Pemberian imunisasi kepada kontak dalam lingkungan keluarga kurang bermanfaat karena tidak cukup waktu.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Kultur dari tenggorokan dan nasofaring tidak bermanfaat untuk menentukan siapa saja yang harus menerima pengobatan profilaksis karena pembawa kuman sangat bervariasi dan tidak ada hubungan yang konsisten antara koloni yang ditemukan secara normal pada populasi umum dengan koloni yang ditemukan pada saat terjadi KLB.
7) Pengobatan spesifik: Penisilin yang diberikan parenteral dalam dosis yang adekuat merupakan obat pilihan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi meningokokus; ampisilin dan kloramfenikol juga efektif. Telah dilaporkan ada strain yang resisten terhadap penisilin di banyak negara di Spanyol, Inggris dan Amerika; strain yang resisten terhadap kloramfenikol dilaporkan di Vietnam dan Perancis. Pengobatan harus segera dimulai bila diagnosa terhadap tersangka telah ditegakkan, bahkan sebelum kuman meningokokus dapat diidentifikasi. Pada penderita anak-anak sambil menunggu agen penyebab spesifik dapat diidentifikasi, pengobatan harus segera diberikan dengan obat yang efektif terhadap Haemophilus influenzae tipe B (Hib) dan terhadap Streptococcus pneumonia. Ampisilin merupakan obat pilihan untuk kedua bakteri tersebut selama mereka masih sensitif terhadap ampisilin. Ampisilin harus dikombinasikan dengan generasi ketiga cephaloposporin, atau dengan kloramfenikol, atau dengan vancomycin sebagai subsitusi di wilayah dimana ditemukan H. influenzae dan S. pneumoniae yang resisten terhadap ampisilin. Pasien dengan infeksi meningokokus atau Hib harus diberi rifampisin sebelum dipulangkan dari rumah sakit apabila sebelumnya tidak diberikan obat generasi ketiga cephalosporin atau ciprofloxacin. Hal ini dilakukan agar ada kepastian bahwa organisme telah terbasmi.
C. Penanggulangan KLB
1) Bila terjadi KLB, upaya paling penting yang harus dilakukan adalah meningkatkan kegiatan surveilans, diagnosa dan pengobatan dini dari kasus-kasus yang dicurigai. Kepanikan dan kecurigaan yang terlalu tinggi tidak bermanfaat.
2) Pisahkan orang-orang yang pernah terpajan dengan penderita dan berikan ventilasi yang cukup terhadap tempat tinggal dan ruang tidur bagi orang-orang yang terpajan dengan kuman yang disebabkan karena kepadatan (misalnya: barak dan asrama tentara, pekerja tambang dan tahanan).
3) Pengobatan pencegahan masal biasanya tidak efektif untuk mengatasi KLB. Pada KLB yang terjadi pada sekelompok kecil penduduk (misalnya di suatu sekolah), pemberian pengobatan pencegahan pada semua orang dikelompok itu dapat dipertimbangkan terutama apabila KLB tersebut disebabkan oleh serogrup yang tidak termasuk dalam vaksin yang ada. Bila dilakukan pengobatan masal harus diberikan pada seluruh anggota masyarakat pada saat yang sama. Semua kontak dekat harus dipertimbangkan untuk mendapat pengobatan profilaksis, tanpa melihat apakah seluruh anggota masyarakat sudah diobati (lihat 9B5 di atas).
4) Pemberian vaksin pada semua kelompok umur yang terkena seharusnya dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh apabila terjadi KLB di suatu institusi yang besar atau di masyarakat dimana kasus disebabkan oleh infeksi grup A, C, W-135 dan Y (lihat 9A3 di atas). Vaksin meningokokus sangat efektif untuk menghentikan wabah yang disebabkan oleh serogrup A dan C. Hal-hal yang diuraikan berikut ini dapat membantu apakah kita perlu memberikan imunisasi kepada orang-orang yang berisiko pada saat terjadi KLB yang diduga disebabkan oleh grup C: a) Pastikan terlebih dahulu bahwa telah terjadi KLB dan deskripsikan secara epidemiologis untuk menemukan kelompok umur yang terkena dan denominator sosial lainnya (misalnya: sekolah, tempat penitipan anak, organisasi kemasyarakatan, kelab malam, kota) dari orang-orang yang terkena; b) hitung attack rate strain bakteri yang menyebabkan KLB pada populasi yang berisiko; c) bila mungkin, lakukan isolasi subtipe N. meningotidis penyebab KLB menggunakan metoda molekuler. Bila paling tidak ditemukan tiga kasus yang disebabkan oleh grup C dengan subtipe yang sama selama 3 bulan dan kasus baru 360 tetap muncul dan attack rate meningkat menjadi 10 kasus grup C per 100.000 penduduk, maka pemberian imunisasi kepada kelompok masyarakat yang berisiko tersebut harus dipertimbangkan.
D. Implikasi bencana: KLB dapat timbul dalam situasi dimana orang harus tinggal dalam kondisi berdesak-desakan.
E. Penanganan Internasional: Manfaatkan Pusat Kerja sama WHO. Walaupun tidak diwajibkan dalam International Health Regulation, sertifikat imunisasi yang masih berlaku untuk meningitis meningokokus diwajibkan oleh beberapa negara seperti Arab Saudi bagi jemaah yang datang untuk ibadah haji.
10. Faktor Resiko
 Faktor risiko mendapatkan meningitis meliputi:
  • Mereka yang tinggal di dekat seperti sekolah, perguruan tinggi, pangkalan militer, Pusat-pusat penitipan siang hari, siswa perumahan dll lebih beresiko terkena infeksi meningococcal, karena berada pada lingkungan sosial dimana kontak sosial banyak berlangsung sehingga mempermudah penyebaran faktor penyebab meningitis
  • Mereka dengan CSF pleuroperitoneal ditempatkan dalam otak mereka untuk patologi lain
  • orang-orang dengan cacat di dura
  • menggunakan prosedur tulang belakang (misalnya tulang belakang anestesi)
  • penderita diabetes
  • mereka dengan bakteri Endokarditis
  • alkoholisme dan hati sirosis
  • penyalahgunaan narkoba suntikan
  • ginjal ketidakcukupan
  • Thalassemia
  • cystic fibrosis
  • hipoparatiroidisme
  • splenectomy
  • sabit cell penyakit
  • Kasus meningintis banyak terjadi pada usia dibawah 5 tahun.
  • Kehamilan. Jika sedang hamil maka akan mengalami peningkatan listeriosis –infeksi yang disebabkan oleh bakteri listeria, yang juga menyebabkan meningitis. Jika memiliki listeriosis, janin dalam kandungan juga memiliki risiko yang sama.
  • Bekerja dengan hewan ternak dimana dapat meningkatkan risiko listeria, yang juga dapat menyebabkan meningitis.
  • Memiliki sistem imun yang lemah.


Sumber : buku Manual Pemberantasan Penyakit Menular JAMES CHIN, MD, MPH Editor. Editor Penterjemah : Dr. I NYOMAN KANDUN, MPH. Edisi 17, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar